Ending Child Marriage in Indonesia: The Role of Courts

No 19 (2020) by Cate Sumner
In English and Indonesian

CILIS Policy Paper_Sumner_cover

UNICEF and Statistics Indonesia (BPS) estimate that one in nine girls in Indonesia (11 per cent) marry before they have reached 18 years of age, placing Indonesia in the top ten countries in the world for numbers of child brides. This compares with just one in a hundred boys in Indonesia who marry before 18. In September 2019, the Indonesian legislature agreed to revise the 1974 Marriage Law to raise the age at which parents may provide their consent to marry their daughters, from 16 to 19 years, making it the same age for both boys and girls. This legislative amendment implements a decision of the Constitutional Court of Indonesia of December 2018 in a case brought by three women applicants who had been married as girls. However, the amendment to the 45-year old Marriage Law does not alter the fact that there is still no absolute minimum age of marriage set by legislation in Indonesia, because parents are still able to apply to the Indonesian courts for dispensation to marry sons or daughters under the age of 19 years. The paper reviews research findings recently published by the Australia Indonesia Partnership for Justice based on an analysis of over 1,000 marriage dispensation cases and half a million divorce cases in Indonesia. UNICEF estimates that two million Indonesian girls under the age of 19 are married each year in Indonesia. Instead of being the point at which a judge simply grants or denies dispensation for a girl or boy to marry, the 14,000 marriage dispensation cases that currently come to the courts could instead be the point at which a range of integrated counselling, legal, education, scholarship and reproductive health services are mobilised to ensure that girls and boys in Indonesia benefit from 12 years of education and defer having children until they are over 18.. This paper proposes a number of recommendations that would improve the ability of judges to accurately assess the views of boys and girls when considering marriage dispensation cases in Indonesia.

Cate Sumner
For 25 years, Cate Sumner has worked in the Middle East, Asia and the Pacific, focusing on access to justice, human rights and judicial reform. Her career spans working with the international law firm Baker & McKenzie in Cairo, the United Nations (UNRWA) as both a Refugee Affairs Officer in the Gaza Strip and as Legal Officer in Jerusalem, the Department of Foreign Affairs and Trade in Canberra, and the International Development Law Organisation (IDLO) in their offices in Manila and Sydney.

In 2005, Cate established Law & Development Partners to work on access to justice, legal identity and judicial reform programmes across Asia and the Pacific. Its focus is on improving access to justice for women, people with a disability, and vulnerable children. A particular focus has been on how these groups are able to access the formal justice system and civil registration systems.

Cate has worked as an adviser on access to justice programmes in Indonesia since 2005 and in the Pacific since 2011 with UN Women, and bilateral development programmes supported by the Governments of Australia, Denmark, New Zealand, Sweden and the United States. Cate has also contributed analytical and policy papers to a range of international organisations and policy think-tanks including the Centre for Global Development, UN Women, the World Bank Justice for the Poor Series, and the Lowy Institute for International Policy.

In September 2019, Cate was awarded a Churchill Trust Fellowship to research how impact investing can support legal services for women and children.

Download

CILIS Policy Paper_Sumner_Indonesian_cover

UNICEF dan Badan Statistik Indonesia (BPS) memperkirakan bahwa satu dari sembilan anak perempuan di Indonesia (11 persen) menikah sebelum menginjak usia 18 tahun, menempatkan Indonesia dalam barisan sepuluh negara teratas di dunia dalam hal jumlah pengantin anak perempuan. Sedangkan anak laki-laki hanya satu dari seratus anak laki-laki di Indonesia yang menikah sebelum usia 18 tahun. Pada September 2019, badan legislatif Indonesia sepakat untuk merevisi UU Perkawinan 1974 guna menaikkan batas usia dimana orang tua perlu memberi persetujuan untuk menikahkan anak perempuannya, dari 16 tahun menjadi 19 tahun, sehingga batas usia menjadi sama baik untuk anak laki-laki dan anak perempuan. Amandemen legislatif ini melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi Indonesia pada Desember 2018, dalam sebuah perkara yang diajukan tiga orang pemohon perempuan yang menikah saat masih dibawah umur. Namun, amandemen terhadap UU Perkawinan yang sudah ada sejak 45 tahun lalu tersebut tidak mengubah fakta bahwa masih belum ada batas usia minimum absolut yang ditetapkan oleh undang-undang di Indonesia, karena orang tua masih dapat meminta dispensasi kepada pengadilan Indonesia untuk menikahkan anak laki-laki atau anak perempuannya yang masih berusia dibawah 19 tahun. Naskah ini menganalisis temuan penelitian yang baru-baru ini dipublikasikan oleh Australia Indonesia Partnership for Justice berdasarkan analisis terhadap lebih dari 1,000 perkara dispensasi pernikahan dan setengah juta perkara perceraian di Indonesia. UNICEF memperkirakan bahwa setiap tahun ada dua juta anak perempuan Indonesia yang berusia dibawah 19 tahun menikah di Indonesia. Alih-alih menjadi titik dimana seorang hakim mengabulkan atau menolak dispensasi untuk anak perempuan atau anak laki-laki untuk menikah, 14,000 perkara dispensasi pernikahan yang saat ini masuk ke pengadilan justru dapat menjadi titik penting dimana rentang integrasi layanan konseling, hukum, pendidikan, beasiswa dan kesehatan reproduksi digerakkan guna memastikan bahwa anak perempuan dan anak laki-laki di Indonesia menerima manfaat pendidikan dasar 12 tahun dan menunda untuk memiliki anak sampai usianya melewati 18 tahun. Naskah ini mengajukan sejumlah rekomendasi yang dapat meningkatkan kemampuan hakim untuk dapat menilai sudut pandang anak laki-laki dan anak perempuan dengan akurat saat mempertimbangkan perkara dispensasi kawin di Indonesia.

Cate Sumner
Selama 25 tahun, Cate Sumner telah bekerja di Timur Tengah, Asia dan kawasan Pasifik, berfokus pada akses terhadap peradilan, hak asasi manusia dan reformasi peradilan. Sepanjang karirnya, Cate pernah bekerja di firma hokum internasional Baker & McKenzie di Kairo, PBB (UNRWA) baik sebagai Petugas Urusan Pengungsi (Refugee Affairs Officer) di jalur Gaza dan sebagai Petugas Hukum di Yerusalem, Kementrian Luar Negeri dan Perdagangan di Canberra, dan International Development Law Organisation (IDLO) kantor Manila dan Sydney.

Pada tahun 2005, Cate mendirikan Law & Development Partners untuk bekerja di bidang akses terhadap peradilan, identitas hukum, dan program-program reformasi peradilan di seluruh kawasan Asia dan Pasifik. Fokusnya adalah untuk meningkatkan akses terhadap peradilan bagi perempuan, penyandang disabilitas, dan anak-anak yang rentan. Salah satu focus khususnya adalah mengenai bagaimana kelompok-kelompok tersebut dapat mengakses sistem hukum formal dan sistem pencatatan sipil. 

Cate telah bekerja sebagai penasihat program-program akses terhadap peradilan di Indonesia sejak tahun 2005 dan di kawasan Pasifik sejak tahun 2011 bersama dengan UN Women, dan program pengembangan bilateral yang didukung oleh Pemerintah Australia, Denmark, Selandia Baru, Swedia dan Amerika Serikat. Cate juga telah mengontribusikan dokumen-dokumen analisis dan policy think-tanks termasuk Centre for Global Development, UN Women, the World Bank Justice for the Poor Series, dan Lowy Institute for International Policy.

Pada September 2019, Cate menerima Churchill Trust Fellowship untuk melakukan penelitian tentang dampak investasi dapat berkontribusi terhadap layanan hukum bagi perempuan dan anak.

Download